Tugas
seorang hafidz begitu mulia. Ia menjaga qur’an dari ancaman penistanya.
Ulul Albab dengan istiqomah membimbimbing calon-calon penjaga kemurnian
qur’an di masa datang.
Angin
berhembus menerpa daun padi yang tengah menghijau. Di tengah hijau padi
nan luas itu nampak sebuah bangunan luas beridiri. Terdengar
suara-suara orang mengaji dari dalam kompleks bangunan tersebut.
Suaranya merdu berirama hingga menembus tembok yang seluruhnya
melingkari kompleks Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Ulul Albab putera.
Seorang
santri nampak asyik menghafal qur’an di pojok gerbang. Ia duduk
bersila. Beberapa saat matanya tertuju pada deretan huruf arab di
genggamannya. Sesaat kemudian ia memandang ke atas langit dan mengulang
apa yang baru ia baca. Santri lainnya duduk senyamannya di masjid. Apa
yang mereka lakukan sama: membaca sebaik-baiknya kemudian menghafal
sedalamnya. Demikian pemandangan sehari-hari Ulul Albab putera, sekitar
200 meter jauhnya dari Ulul Albab puteri.
Siang
sehabis duhur seperti saat itu adalah waktu faforit para santri Ulul
Albab untuk melatih hafalan mereka. Setelah belajar sedari pukul 7 pagi
hingga pukul 1 siang untuk pelajaran umum, otak mereka nampaknya cukup
kuat untuk diperas kembali oleh target hafalan. “Yang paling penting itu
konsentrasi,” tutur Muhammad Natsir, santri kelas 4 Ulul Albab. Berbeda
dengan sekolah pada umumnya, Madrasah Aliyah di Ulul Albab terdiri dari
4 tingkat.
Natsir
yang kini telah hafal 27 juzz ini bercerita jika dalam proses
hafalannya, sejumlah santri memiliki bermacam cara tersendiri. Dalam
menghafal, santri diwajibkan untuk berada di sekitar masjid dengan
kelompoknya masing-masing. Kadangkala mereka saling bersaing untuk bisa
menghafal qur’an lebih cepat. “Saling kejar-mengejar itu istilahnya,”
ucap remaja kelahiran Bekasi 15 tahun silam ini. Itu menurutnya sangat
berguna untuk memacu motivasi dalam menghafal.
Ulul
Albab sendiri sebenarnya tidak mematok bahwa lulusan harus hafal
seluruh juzz, apalgi jika mengingat usia para santri yang terbilang
remaja. Oleh karena itu ada kebijaksanaan tentang jumlah minimal
hafalan. Untuk angkatan Natsir sendiri ada sekitar lima anak yang telah
khatam. Ia sendiri optimis bisa khatam dalam jangka sebulan lagi.
Karena
dirinya telah duduk di kelas 4, Natsir telah lulus ujian nasional tahun
lalu. Sedari kelas 1 hingga kelas 3, selain mesti menghafal qur’an,
santri juga mendapatkan materi pelajaran umum. Materi yang diajarkan
adalah pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Kurikulum juga
mengarah pada apa yang digariskan departemen pendidikan dan kebudayaan.
Begitupun untuk Madrasah Ibtidai, santri juga dibekali dengan mata
pelajaran umum.
Pesantren
yang mampu mengkombinasikan antara tahfidz dengan mata pelajaran umum
cukup langka. Apalagi dengan target yang cukup tinggi, yaitu lulus ujian
nasional dan hafal 30 juzz. Dengan keberhasilan Ulul Albab memadukan
keduanya, pesantren ini banyak menjadi tujuan studi banding pesantren
tahfidz lainnya. “Sering kedatangan tamu studi banding. Ada yang dari
Jogja, dari Sumatera juga,” tambah Natsir yang kini juga diamanahi untuk
menjadi salah seorang staf Humas Ulul Albab.
Selain
kegiatan belajar yang formal, para santri juga memilki sejumlah
kegiatan tambahan yakni latihan bela diri dan sepak bola. Bela diri yang
diajarkan di Ulul Albab adalah silat Tapak Suci – beladiri dalam
organisasi Muhammadiyah. Latihan dilaksanakan beberpa kali seminggu
sehabis ashar. Untuk sepak bola, Ulul Albab bahkan memberikan fasilitas
yang cukup memadai. Ada sekitar dua pasang gawang dari besi di dalam
pelataran pondok. Di rak-rak sepatu santri juga terdapat sejumlah sepatu
sepak bola lengkap dengan kaus kaki dan dekernya. Beberapa santri
bahkan cukup mahir menyepak bola. Karena itu terkadang mereka mengikuti
ternamen di luar. Agar fisik para santri kuat, dua kali dalam seminggu
mereka diharuskan lari hingga 5 kilometer jauhnya.
Natsir
yang tak lama lagi mesti meninggalkan Ulul Albab merasa sangat kerasan
di pesantren yang didirikan Shoimin itu. Ia berencana untuk melanjutkan
mencari ilmu di pesantren lainnya. Ini karena untuk sementara Ulul Albab
belum membuka Madrasah Aliyah. Ia pun memiliki sejumlah harapan untuk
pesantrenya itu seperti pada soal bahasa. Natsir berharap jika kedepan
dibuat semacam peraturan agar para santri wajib berbahasa Arab dan juga
Inggris. “Dan so pasti semoga tetap istiqomah,” lanjut Natsir sembari tersenyum.
****
Menghafal,
apalagi menghafal Al – Qur’an tidaklah mudah. Didik Mudzakir, salah
seroang pengampu tahfidz di Ulul Albab bercerita jika menghafal qur’an
perlu memiliki pemahaman ihwal pentingnya menyimpan ayat-ayat suci itu
di dalam kepala. Dengen dasar tersebut, semangat untuk menghafal bisa
terjaga. Menghafal qur’an dalam pandangan Didik adalah perintah Allah
yang harus dilaksanakan.
Tahfidz
itu sendiri bermakan menghafal. Maknanya menyempit sekarang ini menjadi
menghafal Al-Qur’an. Tahfidz menjadi teramat penting untuk menjaga
keaslian firman Allah tersebut dari masa-kemasa. Ada ancaman perubahan
kata, makna, bahkan tafsir terhadap qur’an. Seorang hafidz menjadi
bagian terpenting dalam menjaga qur’an dari ancaman tersebut.
“Wasilahnya ya kita umat Islam,” tutur pria kelahiran Tasik Malaya 32 tahun lalu itu.
Dari
pemahaman yang demikianlah Didik menjadi selalu termotivasi untuk terus
mendidik santri agar menjadi hafidz yang berkualitas. Kegiatannya
mengjar dimulai sejak subuh. Ia beserta ustadz lain mengetes hafalan
baru santri. Taip ustadz mengampu halaqoh yang berisi 10 santri. Santri
yang terlebih dahulu siap dipersilahkan untuk setor hafalannya terlebih
dahulu. Setiap anak didiknya diminta untuk mengulang hafalannya.
Sekitar
pukul 8 anak para santri masuk kelas untuk mendapat pelajaran ilmu umum
dan ilmu agama hingga pukul 1 siang. Bada dzuhur, Didik kembali
mengetes hafal santrinya. Dalam sehari minimal santrinya mesti menghafal
1 halaman. Setelah semua santrinya ia tes, Didik membacakan ayat yang
mesti dihafal keesokan harinya. Ini dilakukan untuk menghindari
santrinya menghafal dengan cara yang salah.
Tiap
kelas baik di Ibtidai maupun sanawi, Ulil Albab menerapkan standar
hafalan masing-masing. Standar tersebut menjadi acuan untuk naik
tidaknya seorang santri. Untuk sanawiah semisal, sayarat kelas 1 naik ke
kelas 2 mesti hafal 5 juzz, naik kelas 3 10 juzz, dan 20 juzz untuk
bisa naik ke kelas 4. Diaharapkan santrinya bisa lulus minimal dengan
mampu menghafal 20 juzz.
Untuk
bisa lulus santri Ulul Albab harus menjalani dua macam ujian yaitu
ujian semester dan ujian kelulusan tahfidz. Ujian semesteran dilakukan 2
kali dalam setahun sementara ujian kelulusan dilakukan pada akhir studi
santri. Metode ujiannya terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama santri
mesti mengulang hafalannya sebanyak 3 juzz perhari selama 10 hari, tahap
kedua 5 juzz per hari, dan tahap ketiga 10 juzz perhari. “Ada yang
menambahkan 30 juzz sehari, tapi kami tidak mewajibkannya,” terang
Didik. Aspek yang menjadi pertimbangan dalam ujian tersebut adalah
kekuatan hafalan, mahroj, dan tajwidnya. “Hafalan lancar itu bagaikan
air sungai yang mengalir,” tambahnya. Kemampuan melagukan bacaan juga
dinilai sebagai aspek tambahan.
Meski
ada standar, kemampuan santri menjadi hal yang menentukan. Dari sekian
santri Didik menemui santri dengan kemampuan yang berbeda-beda. Beberapa
diantaranya memilki kemampuan yang lebih. Pernah ia memiliki santri
yang sudah hatam 30 juzz sejak di kelas 6 Ibtidai. Itu saja karena
dibatasi ustadznya. “Kalau halaqoh dia seringnya malah tidur,”
kenangnya. Kini santri tersebut mendapat beasiswa belajar di Khafilah
Islamic boarding school, Jakarta. Saat di sanawi, santri yang menurut
Didik jenius itu menjuarai lomba yang diadakan oleh Kedutaan Arab Saudi
untuk Indonesia. Bahkan, ia adalah pemegang rangking 5 hafidz se-Asia
Tenggara. Khafilah Islamic boarding school pun tiap tahun menyeleksi
santri Ulul Albab untuk mendapat beasiswa. “Itu memang ada yang
membiayai, kalau nggak salah orang pertamina,” pungkas Didik.
Tentu
anak dengan kemampuan demikian cukup langka. Menurut Didik, kemampuan
standar seseorang adalah mengahafal 2 halaman dalam sehari. “Orang yang
normal 1 halaman itu 1 jam bisa hafal asal konsentrasi. Sehingga dalam 2
tahun mungkin sudah hatam 30 juzz,” katanya. Hal tersulit adalah
menjaga hafalan dan kualitasnya. Banyak orang yang mampu hafal secara
cepat tapi hilang dengan singkat pula karena tak mampu menjaganya. “Dia
harus istiqomah dalam menjaga hafalannya,” tambah didik. Untuk
memperoleh hafalan yang berkualitas rata-rata memerlukan waktu 3 hingga 4
tahun.
Dalam
menjaga hafalan para santri Ulul Albab menggadakan beberapa acara.
Salah satunya adalah menjadwalkan santrinya untuk unjuk kebolehan dalam
melagukan hafalannya di depan umum. Taiap Selasa dan malam Jum’at para
santri Ulul Albab saling unjuk kebolehan. “Kita itu seneng kalau lihat
itu,” ucap Didik sembari tersenyum kecil. Pada hari tasrek, para santri
menggelar acara tersebut hingga menuntaskan 30 juzz dalam sehari. “Masih
banyak makanan, jadi anak-anak senang sekali,” candanya.
Mahsyur,
direktur Ulul Albab mengatakan jika misi besar dari keseluruhan proses
pembelajaran adalah untuk membentuk pengahfal qur’an dengan mahdzab
salafi. Peran seorang hafidz sangat penting dalam menjaga ajaran Islam
dari berbagai usaha penistaannya. “Pemahaman Islam itu kan menjadi
macem-macem sekarang. Ya, ini untuk menjaga mereka (santri Ulul Albab, Red.),” tutur salah seorang pendiri Ulul Albab ini.
Ia
juga menekankan pentingnya memahami perbedaan istilah antara sanawiyah
dan sanawi. Ulul albab memakai istilah ibtidai untuk sekolah dasarnya
dan sanawi untuk jenjang lanjutan peramanya. Perbedaan tersebut terletak
pada lama pendidikan dan kegiatan belajarnya. Jika sanawiyah selama 3
tahun maka sanawi hingga 4 tahun. Mata pelajaran yang diajarkan di
sanawiyah itu sangat banyak dan di sanawi cukup sedikit untuk lebih
memberikan porsi pada tahfidznya. “Barangkali kalau dengan snawiyah,
apalagi SMP kita kalah di pengetahuan umumnya. Itu karena kita fokus
pada tahfidznya,” pungkas Mahsyur yang juga seorang dokter lulusan UNS
ini.
Tahfidz
juga menjadi syarat utama kenaikan kelas. Meski nilai pelajaran umum
seorang santri baik, jika ia tak memenuhi target hafalannya, ia mesti
tinggal kelas. Begitupun untuk syarat masuk Ulul Albab, tahfidz menjadi
penentu. Tes biasanya dilakukan dengan memberikan calon santri satu
halaman qur’an untuk dihafalkan. Jika dalam waktu satu jam anak tersebut
mampu menghafal, ia akan diterima. Cara membaca calon santri pun mesti
telah sesuai dengan standar. Ini karena dalam proses pembejaran, ustadz
hanya akan memibimbing hafalan bukan mengajari santri membaca qur’an
dari awal.
****
Jafar
menangis sejadi-jadinya di hari ketiga ia menjadi santri Ulil Albab.
Begitupun ke-25 temannya. Mereka berkumpul ditengah asrama sembari
menumpahkan air mata haru. Hanya satu santri teman Jafar yang tak
menangis. Ia nampak kuat menghadapi rasa pilu jauh dari kedua orang tua.
“Ternyata dia di luar masuk kamar mandi, nyalain keran, terus
menangis,” kenang Jafar, alumni Ulul Albab. Tiga hari kemudian pun sama,
mereka menangis. Butuh waktu sekitar satu bulan untuk merasa terbiasa.
Selain
tekanan dari jadwal hafalan dan belajar, santri Ulul Albab juga mesti
tabah. Sedari kecil mereka mesti hidup mandiri terpisah dengan orang
tua. Ketika bocah seusinya tidur dengan nina boboan dan dongeng ibunda,
mereka mesti tinggal di asrama bersama anak seusinya. Semua mereka
lakukan sendri dari mencuci hingga mengerjakan hal lainnya. Butuh
kesetabilan mental untuk bisa bertahan dan mampu berlatih menghafal.
Proses yang demikian berat itu ternyata tidak sia-sia. Sebagai alumni Ulul Albab, Jafar merasakan betul manfaat dari yang Ulul Albab ajarkan. Kini dia melanjutkan sekolah di sanawiah Boyolali. Ternyata, apa yang diajarkan di sanawiah sama atau bahkan lebih rendah dari materi yang telah ia tuntaskan. “Pelajaran nahu di Ulul Albab lebih tinggi dari pada di sana. Jadi, walaupun kami diajar suka tidur, kami sudah bisa,” canda remaja 16 tahun ini. Jafar sudah beberapa hari ini menginap di pondok untuk silaturahim.
Menjadi
santri pesantren terkadang membuat orang memandangnya dengan sebelah
mata. Banyak orang yang berprasangka buruk pada apa yang diajarkan Ulul
Albab kepada Jafar. “Ketika mereka tanya kami dari pondok, pertanyaan
pertama yang terlontar itu di sana (Ululm Albab, Red.) diajari buat bom nggak,”
ucap Jafar mengingat saat ia ditanya seorang penumpang di bus. Padahal
menurutnya tidak ada materi tentang terorisme sama sekali di Ulul Albab.
“Wong main petasan saja nggak boleh kok,” tambah sosok yang ingin menjadi hacker handal ini. Peraturannya, jika santri diketahui bermain petasan akan di panggil dan dikenai hukuman.Proses yang demikian berat itu ternyata tidak sia-sia. Sebagai alumni Ulul Albab, Jafar merasakan betul manfaat dari yang Ulul Albab ajarkan. Kini dia melanjutkan sekolah di sanawiah Boyolali. Ternyata, apa yang diajarkan di sanawiah sama atau bahkan lebih rendah dari materi yang telah ia tuntaskan. “Pelajaran nahu di Ulul Albab lebih tinggi dari pada di sana. Jadi, walaupun kami diajar suka tidur, kami sudah bisa,” canda remaja 16 tahun ini. Jafar sudah beberapa hari ini menginap di pondok untuk silaturahim.
Tidak ada komentar